Suku Anak Dalam Bahu Membahu

Kemajuan dan kemandirian hanya akan menjadi milik masyarakat yang bersatu. Ungkapan ini agaknya menjadi philosofi dari jargon “Si-Kompak”  dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Hal ini pula yang mengilhami masyarakat Desa Pelempang Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi untuk melibatkan Suku Anak Dalam (SAD) yang juga dikenal dengan “Suku Kubu”.

Keberadaan SAD memang terkadang ironi, disatu sisi mereka hidup liar di hutan-hutan sementara di sisi yang lain mereka juga adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat umumnya. Jika tidak diberdayakan maka mereka akan menjadi masalah sosial yang cukup serius. Oleh karena itu, PNPM Mandiri Pedesaan memiliki peran yang penting dalam upaya memberdayakan masyarakat termarjinalkan tersebut.
Tidak banyak masyarakat yang berhasil berkomunikasi dengan warga SAD. Selain banyaknya perbedaan kebiasaan dan adat istiadat,  SAD juga lebih terkesan menghindar dari masyarakat dan memilih hidup terasing.
Pelibatan seluruh komponen masyarakat dalam PNPM Mandiri Pedesaan adalah suatu hal yang wajib. Karena masyarakat dalam PNPM Mandiri Pedesaan bukan hanya sebagai objek dari pelaksanaan kegiatan melainkan juga subjek dari pelaksanaan kegiatan itu sendiri.
Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi yang merupakan salah satu lokasi penerima dana BLM PNPM Mandiri Pedesaan mencoba untuk menjawab tantangan tersebut. Mengingat, di Kecamatan Mestong ini masih ada didiami oleh sebagian kecil SAD khususnya di Desa Pelempang.
Langkah awal yang coba dilakukan adalah dengan membuka akses SAD tersebut dengan dunia luar. Jadilah, pada tahun 2012 melalui MAD Penetapan Usulan ditingkat kecamatan usulan pembangunan box culvert dengan volume 7 x 3 Meter di Desa Pelempang disepakati untuk didanai dengan nomor urut 1. Dengan demikian, masyarakat desa Pelempang berhak mendapatkan alokasi kegiatan fisik sebesar Rp 210.082.400.
Box culvert yang dibangun ini merupakan akses utama SAD selama ini untuk keluar masuk dari lokasi tempat tinggalnya menuju pemukiman penduduk lainnya. Tidak hanya sampai disitu, dalam setiap tahapan pelaksanaan PNPM-Mandiri Pedesaan berbagai upaya dilakukan untuk melibatkan SAD tersebut.
Mulai dari melibatkan mereka sebagai pelaku-pelaku program seperti Tim Pengelola Kegiatan (TPK) yang salah satu anggotanya adalah warga setempat yang telah menikah dengan salah seorang warga SAD serta menetap dikomunitas SAD. Begitu juga dengan Tim Pemantau yang salah satunya merupakan Datuk dari SAD tersebut.
Upaya ini cukup berhasil setidaknya hal ini bisa terlihat dari kesediaan Sang Datuk untuk hadir dalam pelatihan Tim Pemantau yang dilaksanakan di tingkat kecamatan dan cukup intensnya dia untuk hadir dilokasi pembangunan guna mengawasi.
Begitupun dalam hal musyawarah, keterlibatan SAD selalu diupayakan. Sebagai salah satu strategi yang coba dilakukan dalam menarik minat SAD untuk ikut dalam musyawarah adalah dengan menciptakan suasana musyawarah sealami mungkin mengikuti kebiasaan mereka. Jadilah, dilokasi pembangunan box culvert di bawah pohon sawit dan karet disulap menjadi tempat musyawarah. Dan usaha ini juga cukup berhasil. Tanpa canggung, warga SAD berbaur dengan masyarakat setempat untuk mendengarkan setiap agenda musyawarah.
Sayangnya saat diajak terlibat sebagai tenaga kerja, warga SAD tidak mau dengan alasan tidak sanggup. Salah seorang warga SAD, Sukiban saat ditawarkan menjadi tenaga kerja hanya menjawab dengan logat bahasa mereka yang khas “Tak Telap, Sakit Pinggang” (dak kua, sakit pinggang).
Anehnya, meski tidak mau terlbat sebagai tenaga kerja, warga SAD tetap ikut membaur dengan tenaga kerja lain dalam proses pengerajaannya. Setidaknya terdapat 30 orang warga SAD yang ikut berkerja secara swadaya setiap harinya.
Bukan hanya membantu mengangkut material tapi juga hingga mengoperasikan mesin pengaduk semen dan merapikan hasil adukan beton dilantai yang di cor tersebut. Fenomena ini cukup menarik, setidaknya hal itu bisa menggambarkan bahwa pada dasarnya mereka yang selama ini dianggap sebagai kaum tak mengacuhkan pembangunan ternyata memiliki jiwa kepedulian yang cukup tinggi. Bisa jadi selama ini mereka tidak diberi kesempatan untuk bisa lebih mengembangkan diri menuju masyarakat yang berdaya. (fk mestong)

0 komentar: